Jakarta, kaltenghits.com – Salah satu penyumbang emisi terbesar yang berdampak pada Krisis iklim adalah sektor energi. Sementara komitmen untuk transisi energi menuju energi bersih dan terbarukan seolah berjalan lambat. Di sisi lain masih banyak wilayah di Indonesia yang belum menikmati listrik seperti yang dinikmati di daerah perkotaan.
Menurut anggota pengarah BRIN, Tri Mumpuni, dalam Green Webinar, Senin (06/11/2023) yang digelar Asosiasi Media Siber Indonesia dan BBC Media Action, untuk menjawab persoalan tesebut perlu pelibatan masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang tersedia.
“Rakyat diberitahu, kalau kamu mau menghasilkan 1 KWJ listrikmu per tahun…ya kamu harus menanam pohon yang cukup gede di daerah hulu. Karena itu didesain nanti dalam listrikmu dengan menggunakan tenaga air skala kecil, ini akan selalu berkelanjutan, rakyat punya kesadaran penuh, konservasinya terjaga,” ujarnya.
Tri Mumpuni juga menegaskan, bahwa kondisi seperti di atas mestinya didorong pemerintah karena sebetulnya Indonesia kaya energi baru dan terbarukan seperti mikro hidro yang untuk menghasilkannya bisa melibatkan masyarakat. Pelibatan masyarakat agar mampu menyediakan listriknya sendiri inilah yang disebut Tri Mumpuni sebagai demokratisasi energi yang akan mengarah pada demokratisasi ekonomi.
Menurut CEO Landscape Indonesia, Agus P Sari, transisi energi harus dilakukan secara adil karena akan berdampak pada pendapatan pekerja, rumah tangga, dan juga ekonomi wilayah. Meski transisi energi terbarukan akan menghasilkan green jobs yang lebih banyak, tetap perlu difikirkan dampak dan solusinya.
Di sisi lain, terkait pertanyaan kemungkinan adanya kepentingan oligarki sehingga setengah hati dalam transisi energi? Agus P Sari mengatakan, sudah banyak studi yang menyebut bahwa ada anggota legislatif dan pejabat pemerintah di eksekutif yang juga pemilik tambang batu bara dan atau pembangkit listrik.
“Kalau dia juga sebagai pejabat pemerintah, nggak akan mau membuat kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan bisnisnya,” tegasnya.
Sharlini Eriza Putri, peserta Eisenhower Fellow yang juga CEO Nusantics, mengatakan, bahwa soal transisi energi dan investasi energi terbarukan bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga soal kalkulasi investasi. Jika sektor produktif harus menyerap listrik PLN yang harganya lebih mahal meski lebih bersih, karena menggunakan energi terbarukan tapi kemudian harus bersaing dengan barang impor yang harganya lebih murah, maka sulit bagi sektor produktif untuk bersaing.
Terkait energi dan polusi, Sarlin, panggilan Sharlini Eriza Putri, mencontohkan bahwa tinggal di Jakarta itu seperti tinggal di dalam toples toxic. Salah satunya karena emisi baik dari kendaraan maupun PLTU batu bara dan emisi pabrik yang tidak memiliki filter.
Mengutip pernyataan Agus P Sari, pemanasan global yang terjadi saat ini tidak terjadi secara alamiah, tetapi karena ulah manusia. Sejak revolusi industri, emisi dari sektor energi dan industri meningkat sangat cepat. Namun hingga kini, dunia terus merencanakan, memproduksi dan menggunakan energi fosil yang banyaknya luar biasa.
”Walaupun katanya bumi ini harus diwariskan dengan bentuk yang paling tidak sama kualitasnya kalau tidak lebih baik, tapi ini yang sedang terjadi, kita sedang merusak masa depan anak-anak kita,” tegasnya. (red)