PALANGKA RAYA, KaltengHits.com – Langit Palangka Raya seperti ikut berkabung. Rintik hujan turun pelan, seolah menyeka air mata yang tak sempat jatuh. Di Pal 12, tanah perlahan mengubur tubuh seorang lelaki yang selama hidupnya tak pernah meminta lebih dari sekadar cukup.
Seorang pria yang tak banyak bicara, tapi langkahnya meninggalkan jejak panjang dalam pembangunan dan kejujuran birokrasi. Ir. Rentas Anggen, Sp. PD. telah pergi.
Minggu, 15 Juni 2025. Pukul 18.00 WIB, sosok itu ditemukan tak sadarkan diri di kamar mandi rumahnya. Asma yang lama bersarang di dadanya rupanya datang diam-diam, membawa kepergian yang tak seorang pun siap menerima.
Ia bukan tokoh yang akrab dengan panggung. Tapi jalan-jalan yang kita lintasi hari ini, jembatan-jembatan yang menghubungkan desa ke kota, adalah saksi bisu dari dedikasinya sejak 1980 sebagai pegawai PU. Mulanya hanya tim survei dan pengawas proyek rehabilitasi, hingga akhirnya dipercaya menjadi kepala dinas. Tapi jabatan tak mengubahnya. Ia tetap pria sederhana yang mengisi hidup seperti air yang mengalir tanpa gempita, tapi memberi arti.
Satu kenangan yang tak bisa dilupakan oleh seorang rekannya, ketika mobil dinasnya mogok di tengah jalan, dan ternyata kehabisan bensin. “Tolong belikan dulu ya,” ucap Rentas dengan tenang, tanpa gengsi. Setelah diisi, mobil itu menyala. Tapi ia tak bisa mengganti uang bensin saat itu juga. Bukan karena tak mau, tapi karena memang tak membawa uang.
“Maaf, saya nggak bawa uang,” ucapnya, tulus. Dan begitulah dia, bersih sampai akhir.
Rentas lahir pada 26 Desember 1950 di Kasongan. Anak kedua dari tiga belas bersaudara. Masa kecilnya keras. Ia berjalan kaki sejauh 60 kilometer dari Kasongan ke Tangkiling hanya untuk menempuh pendidikan SMA di Palangka Raya. Lalu menyeberang pulau demi ilmu: dari Universitas Lambung Mangkurat, ke Universitas Brawijaya, lalu menyelesaikan S-2 di ITB Bandung. Semua ditempuh bukan untuk mengejar gelar, tapi agar bisa membangun kembali tanah kelahirannya dengan cara yang benar.
Ia kerap berkata, “Aturan itu di atas segalanya. Bahkan perintah pimpinan pun harus tunduk pada aturan.” Bila ada kebijakan yang menurutnya keliru, ia tak menyerang. Ia menolak dengan cara halus, tapi tak pernah bergeser dari prinsip.
Tak pernah mencari kaya. Tak pernah membangun kekuasaan. Ia hidup seadanya. Bahkan ketika anak-anaknya butuh biaya sekolah, ia tetap tak mengubah gaya hidupnya. “Yang penting halal dan cukup,” begitu yang selalu ia katakan pada istrinya.
Kini, beliau telah tiada. Tapi warisannya bukan harta. Warisannya adalah keteladanan. Adalah jalan-jalan yang tak hanya menghubungkan kota dan desa, tapi juga menyatukan mimpi dan perjuangan.
Duka ini terlalu dalam untuk dijelaskan dengan kata-kata. Tapi satu hal pasti: Kalteng kehilangan salah satu putra terbaiknya. Seorang birokrat yang bekerja dengan hati, bukan dengan ambisi.
Selamat jalan, Bapak Rentas. Semoga damai dalam keabadian. Doa kami menyertaimu, selalu. (dn)