Dewan Pers Sebut Draf RKUHP Rentan Batasi Kebebasan Media Massa

Kaltenghits.com – Dewan Pers mengungkap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) membuat media massa rentan melakukan swasensor (self-censorship).

Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Arif Zulkifi menyebut swasensor ini terjadi sebab RKUHP memiliki pasal-pasal yang membatasi kebebasan pers. Nantinya, kata Arif, pihaknya menilai swasensor yang terjadi di media massa dapat merugikan masyarakat secara luas.

“Kalau nanti RKUHP sudah disahkan, maka yang terjadi adalah ada kecemasan di kalangan media. Kecemasan dari kalangan media akan membuat mereka melakukan self-censorship, kalau media melakukan self-censorship yang dirugikan adalah masyarakat secara luas,” kata Arif dalam seminar daring, Senin (18/7).

Sebab, menurutnya, media memiliki peran untuk memastikan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat umum diketahui publik.

“Publik berhak untuk tahu apapun menyangkut kepentingan mereka sebagai public. Soal penanganan pandemi, pengurusan KTP, pengurusan SIM, tembak-menembak antara dua perwira polisi itu publik berhak untuk tahu,” ujarnya.

Sementara itu, sambungnya, media massa atau pers merupakan alat atau perpanjangan tangan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi itu.

“Jadi pers itu diberi wewenang menjalankan hak publik untuk tahu tadi, karenanya dari situlah kemudian pers bekerja. Jadi prinsip dasar dari kerja jurnalistik adalah hak publik untuk tahu,” ungkapnya.

Beberapa pasal yang ia soroti bermasalah adalah Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu juga Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong, serta beberapa pasal lainnya.

Pasal-pasal ini dinilai dapat menghambat kebebasan pers dan bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Salah satu yang bertentangan adalah hukuman bagi jurnalis yang dianggap membuat berita bohong.

Ia mengatakan selama ini masyarakat yang menganggap satu berita bermasalah dalam proses pembuatannya ataupun hasilnya, dapat melaporkan hal itu kepada Dewan Pers. Kemudian, Dewan Pers akan melakukan mediasi antara pihak media dengan pelapor.

“Kemudian diberi ganjaran [jika terbukti salah] misalnya berupa ganjaran etik, meminta maaf, merevisi berita, menulis ulang sebuah berita, dan seterusnya. Jadi kesalahan kata-kata dibalas dengan perbaikan kata-kata. Bukan dengan hukuman badan seperti yang kita cemaskan kalau RKUHP ini disahkan,” papar Arif.

Sedangkan, jika merujuk pada draf RKUHP yang beredar 4 Juli 2022, Pasal 263 mengatur penyebaran berita bohong dengan hukuman pidana penjara paling lama enam tahun penjara.